“Pagi Pak Arya,” sapa seorang wanita dengan
jas putih yang melekat di badannya, ciri khas seragam seorang dokter. Dengan senyuman manis, dia menyapa, “Sepertinya pak
Arya tampak sangat sehat, tak terlihat seperti orang yang habis koma.” Aku tak
begitu serius memperhartikan apa yang diucapkan dokter. Aku merasa masih
sedikit lemah setelah terbangun dari tidurku, apalagi ada rasa nyeri yang di
bagian belakang kepala. Aku memperhatikan dokter yang sedang melakukan tugasnya,
memeriksa kondisiku. Parasnya cantik dan manis. Dokter tidak sendiri, dia
ditemani seorang suster yang juga tampak ramah. Mereka menghadiahiku dengan senyuman
sambil menanyai tentang keadaanku. “Bagaimana keadaan pak Arya?? kami harap jauh
lebih baik!!” tanya sang dokter. “Boleh saya duduk dokter?” pertanyaanku
meminta ijin kepada dokter, “ohh tentu saja pak, karena badan bapak harus
sedikit-sedikit mulai digerakan” jawab sang dokter. Kemudian akupun menggerakan
badanku, berusaha untuk duduk bersandar.
Aku : “sudah berapa hari
saya di sini dokter?”.
Dokter : “ini hari kedelapan,
pak Arya berada di kamar ini”.
Aku : “delapan dok? Apakah
dokter sedang bercanda??”, dengan sedikit tidak percaya.
Dokter : “Apa saya tampak
bercanda pak? Tapi sudahlah pak, nanti saja kita jelaskan. Yang terpenting pak
Arya sudah siuman dan tampak fit.”
Aku : “baiklah dokter”.
Aku terdiam, memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. Aku mencoba
mengingat sejauh yang kubisa apa yang sebelumnya terjadi. Lalu……., apakah betul
delapan hari aku di sini??. Ah…….., kepalaku terasa berat. Bukankah terakhir
aku habis dari toko buku?? Lalu….. ahh…. Kenapa aku ada di sini??. Akhirnya aku
mencoba berdamai dengan apa yang diucapkan dokter, aku mencoba mempercayainya.
Aku : “dok, selama di sini
apa ada yang datang menjenguk atau apa??”
Dokter : “tentu pak, dua hari
pertama pak arya ditemani mba Dini. Tapi karena alasan yang sangat penting dia
tidak bisa menemani pak arya di hari selanjutnya”.
Aku : “Dini siapa dokter?”
Dokter : “Pak Arya tidak kenal
atau …….. ??”
Aku : “nama dini kan
banyak dok”
Dokter : “Oh iya, pak arya benar
juga”,
Sang dokter tampak menulis sesuatu di papan catatan yang dibawa oleh
suster, entah apa yang ia tulis, tetapi raut wajahnya menampakan ada hal yang
serius.
“Oh ya pak Arya,” kata suster, “dua hari ini, bapak ada yang menemani
lho, mba-mba cantic lho, namanya mba Hafsa, Selly Hafsa, katanya dia teman
sekolah bapak sewaktu SMP.” Lanjut sang suster. “Ohh… Hafsa, iya suster, dia
teman SMP saya.” Aku menyahut perkataan suster, “Sekarang dia dimana suster??”.
“Mungkin lagi keluar pak, katanya sih mau cari makanan.” jawab suster. Hmmm……,
aku mengambil nafas dalam-dalam, untuk memberikan kesempatan bagi pikiranku
mencerna apa-apa yang kudengar. Masih banyak yang mengganjal dan menjadi
pertanyaan dalam pikiranku, tentang mengapa bisa sampai delapan hari aku
disini, tentang Dini, dan tentang mengapa si Hafsa bisa tahu aku berada di
sini.
Selly Hafsa, aku mengenalinya sejak kami sama-sama duduk di bangku SD.
Kami satu sekolah, bahkan sering satu kelas. Dia cantik, manis, dan menarik. Memang
kata teman-teman dia kadang menunjukan sikap sedikit ‘galak’ tetapi dia tetap
menawan. Dia siswi yang pintar. Saat kelas enam, dia peringkat tiga di kelas.
Ketika masa SMP, kami juga satu sekolah dan pernah satu kelas kembali,
setidaknya saat kami kelas tiga SMP. Mungkin yang tak akan pernah sirna dari
ingatanku adalah tentang dirinya sebagai seorang mayoret. Yah…., Selly Hafsa
seorang mayoret. Ketika dia berdandan sebagai mayoret, keanggunannya makin
tampak, keelokan rupanya makin jelas dan keindahan parasnya menjadi sulit
lekang dalam ingatan.
Dokter : “baiklah pak Arya, kami
rasa kondisi bapak sangat baik, cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga
dan kesembuhan luka bapak, jika tenaganya sudah pulih, mungkin besok pak Arya
bisa pulang.”
Aku : “Sungguh dokter??”
Dokter : “tentu pak Arya!”,
sambil merapikan stetoskop-nya, “kami permisi pak, semoga cepet pulih.”
Aku : “Trimakasih dokter
suster”.
Sambil tersenyum merekapun melangkah pergi berlalu meninggalkan
ruangan tempat aku dirawat. Sesampainya di pintu mereka berpapasan dengan
seseorang lalu terdengar suara seseorang. “Bagaimana keadaan Arya, dokter,
suster??”. Suara seorang wanita yang tak asing bagiku, dialah Selly Hafsa.
Wanita yang sampai sekarang tetap saja sulit hilang dari ingatan. “Pak Arya
sudah sadar, mba Hafsa tidak perlu khawatir,” jawab dokter. Sambil duduk
bersandar ditempat tidur kuperhatikan mereka berbicara. Kemudian dokterpun
melanjutkan perkataannya, “Secara fisik kondsinya sangat baik, tetapi…….,”
dokter terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. Akupun merespon dengan senyuman
pada dokter yang rupawan itu. “mba Hafsa nanti bisa temui saya, ada hal yang
perlu saya sampaikan.” Setelah mengucapkan kalimat itu, dokter dan susterpun
berlalu meninggalkan Hafsa yang masih berdiri di depan pintu.
Aku menatapi seseosok wanita anggun yang sedang berdiri, yang telah
lama tidak berjumpa. Seperti ada rasa canggung dan nervous dalam situasi
seperti ini. Hafsa berjalan pelan melewati pintu, selangkah demi selangkah ia
mendekatiku. Kini dia berdiri di sebelah ranjang perawatanku.
Hafsa : “Apa kabar Ar?? Lama
tak jumpa”
Aku : “Aku baik, bahkan
sangat baik. Setidaknya itu kata dokter.”
Hafsa : “Syukurlah.”
Aku : “Kamu bagaimana?”
“permisi….,” terdengar suara dari luar memotong pembicaraan kami. “iya
suster…,” sahut Hafsa. Suster melngkah menuju kami lalu ia kembali berkata, “mba
Hafsa diminta ke ruangan dr. Mariska, seperti yang tadi sudah disampaikan
tadi”. “Hal apa ya suster,” tanya hafsa. “Nanti saja dr. Mariska yang lebih
tahu.” Jawab suster. “temuilah dr. Mariska” aku menyela obrolan mereka seraya
meminta Hafsa menemui dokter. “baiklah, tapi kamu makan ini ya….., sudah aku
belikan ini buat kamu, makan ya!”. Hafsa pun menuruti perintah suster dan
ucapanku.
Suster dan Hafsa berlalu pergi keluar dari ruangan ini. Aku menoleh ke
samping, disebelah kanan ranjang perawatanku. Hmmmm……., dia masih saja ingat
apa yang aku suka. Meskipun mungkin belum boleh kumakan. Hafsa….. Hafsa…… .
POV Orang Ketiga
Sementara itu di ruang kerja dr. Mariska, tampak tiga orang sedang
berada di sana. Dr. Mariska yang duduk di kursi kerjanya, dan Hafsa duduk di
kursi tamu, sementara Suster berdiri di sebelah kiri dr. Mariska.
dr. Mariska : “mba Hafsa
ini sebenarnya apanya, maaf, siapanya pak Arya??”
Hafsa : “bagaimana ya dok, saya
sebenarnya Cuma teman sekolahnya Arya, itupun Sepuluh tahunan yang lalu dok,
temen SMP.”
dr.
Mariska : “kenapa mba Hafsa bisa
tahu keadaan pak Arya?? Apa teman dekat?? Sering komunikasi??”
Hafsa : dengan tersenyum menjawab pertanyaan dokter “Ini perjumpaan
pertama kali kami setelah kami lulus SMP dok,”
Dr. Mariska : “tapi
kok…..”
Hafsa : memotong ucapan
dokter, “Maaf dok, katanya ada hal yang
ingin dokter sampaikan??, mengenai saya dengan Arya, nanti saja”
Dr. Mariska : “Oh iya
maaf, jadi begini mba Hafsa,…………….” Dokter terdiam sejenak. “Sepertinya ada
gangguan di memori pak arya”
Hafsa :
“ganguan bagaimana dok??apa dia lupa ingatan atau semacamnya??”
Dr :
“kami juga masih belum bisa menyebutnya sebagai lupa ingatan, buktinya pak arya
masih ingat mba Hafsa dengan baik”
Hafsa : “lalu
gangguan apa dok?”
Dr : “kami belum tahu
jenis gangguan ingatan apa itu, tetapi ada sebagian memori pak arya yang
hilang, maksud saya, yang tak dingat olehnya. Pak arya tidak ingat kejadian
kecelakaan penyebab dia masuk RS. Padahal menurut kami kecelakaannya tidak
parah. Andini yang bersamanya tidak mengalami cidera yang berarti. Tetapi pak
Arya hanya terbentur sandaran jok Kopaja bisa mengalami koma dan lupa ingatan.”
Hafsa : “tapi
saya lihat arya tampak sehat dan normal dokter”
Dr : “Iya mba benar, pak
Arya memang tampak sangat baik dan sehat. Tetapi waktu saya tanya tentang mba
Andini dia tidak tahu, tidak ingat sama sekali, hmmmmm….”, dr. Mariska menarik
nafas lalu melanjutkan omongannya, “Apa mba Hafsa tahu lebih jauh tentang pak
Arya? Mungkin pak arya pernah jatuh dan kepalanya membentur benda keras atau
pernah kejatuhan benda yang lumayan berat??”
Hafsa :
“tidak banyak dokter, kami berteman saat SMP, saat kami masih menjadi
remaja-remaja kecil, yang masih suka bermain-main bersama”
Hafsa terdiam, pikirannya meluncur ke masa silam. Saat dirinya masih
menjadi remaja kecil seperti yang ia ucapkan kepada dokter. Dalam hatinya
berkata, “mungkinkah karena kejadian itu. Tapi sepertinya tidak mungkin. Andaikan
iya………, oh Arya maafkan aku. Andai saja kamu tak menatapiku sebegitunya pasti
kamu tidak akan mengalaminya. Kamu tidak akan jatuh terserempet motor itu.
Tetapi…….”, pikiran hafsa masih berkecamuk antar iya, mungkin, atau pasti
tentang kemunkinan kejadian itu.
Dr :
“ya sudah, karena belum ada keluarga pak Arya yang datang dan kami percaya
kepada mba Hafsa, kami mohon mba Hafsa bersedia membantu pak arya menemui
kembali ingatannya”
Hafsa : “saya
harus bagaimana dokter?”
Dr :
“mungkin ini bisa membantu mba Hafsa”, sambil menyodorkan sebuah amplop kepada
hafsa.
Hafsa :
“baiklah dokter, kalau begitu saya boleh ke kamar Arya lagi dokter??”
Dr :
“Silahkan…..”
Hafsa beranjak dari tempat duduknya, berdiri lalu membalikan badan dan
melangkah pergi menuju ke kamar Arya. Setelah beberapa langkah dia meninggalkan
ruangan dr. Mariska, dia melihat sisi belakang amplop yang kini dipegangnya, “Andini
Eka Manita”, hatinya membaca tiga kata yang tertulis di belakang amplop. “Haruskah
aku langsung menyerahkannya, atau melihat isinya? kalau surat pribadi, bagaimana”. Hafsa
bertanya pada dirinya sendiri. “Mungkin nati saja aku menyerahkannya. Tapi…….”.
Meskipun ragu dan khawatir, Hafsa akhirnya berenti sejenak lalu membuka isi
amplop yang ia pegang. Namun sayang, isi tulisannya membuat Hafsa bertambah
bingung. “maksudnya apa ini?, kata dr. Mariska ini bisa membantu Arya
mengembalikan ingatannya. Kok cuma seperti ini isinya…..”
“Perpustakaan Umum Kab. Brebes,
Kamus Umum
Jepang-Indonesia,
terbitan Pustaka
Bahasa 2000 cetakan ke-2.
Halaman 233,
Andini Eka Manita”
Hafsa-pun mengembalikan amplop seperti semula, memasukan kertas isi
surat kedalam amplopnya. Dia lalu meneruskan langkahnya ke kamar Arya. Dan sampailah
Hafsa di sebelah Arya yang masih tiduran setengah duduk di tempatnya sambil
memperhatikan tayangan TV di kamar rawat inapnya.
Hafsa : “Hai Ar”
Arya : “Hai ….., apa yang
kalian bicarakan di sana??”
Hafsa : “Soal administrasi
rumah sakit Ar..” Hafsa terpaksa berbohong, menyembunyikan apa yang disampaikan
dokter.
Arya : “tidak ada yang
lain??”
Hafsa : “he’eh”
Mereka salig diam satu sama lain untuk beberapa saat lamaya. Arya,
walau bagaimanapun masih canggung untuk berbicara banyak kepada Hafsa. Karena sudah
lama tak berjumpa. Sementara Hafsa bingung dengan apa yang kini dihadapinya. Soal
dirinya dan soal Arya. Dia seperti bingung apabila kedepannya akan dihadapkan
pada situasi harus memilih atau berada disebuah persimpangan jalan.
Sambil duduk di kursi di sebelah ranjang Arya, Hafsa menundukan kepala.
Pandangan matanya tertuju pada jari manis di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya
memgang kiri, tampak ibu jarinya sedang memegani cincin pertunangannya dengan seorang
pria pilihan orang tuanya. “Hemmmmmm.” Hafsa tampak menarik nafas berat dan
mendalam. “Oh Tuhan…., apa yang harus kulakukan, jika Dia tahu aku di sini
apakah yang akan Dia lakukan, tapi jika aku biarkan Arya sendiri, bagaimana??”
Hafsa membatin dalam hatinya.
Arya : “Kha....”
Hafsa : “Eh……, iya AR”
Arya : “Kamu belum jawab
pertanyaanku”
Hafsa : “Pertanyaan apa yang
mana?”
Arya : “kabar kamu….”
Hafsa : “kabarku baik Ar, ”
Arya : “Dengan orang mana?”
Hafsa : “Maksud kamu??”
Arya : “Yang membuamu
mengenakan cincin di jari manismu itu”
Hafsa : “Nih orang…., sukanya
lewat pantura ya….., gak berubah dari dulu. Kalau bertanya lewat tol saja biar
cepet, gak muter-muter”
Arya : “haha….”, tertawa
pelan sambil memperhatikan ekspresi hafsa.
Hafsa : “Kapan-kapan saja aku
ceritanya. Sekarang kamu istirahat aja ya….., biar cepet sembuh.”
Arya menurut saja apa yang dikatakan hafsa. Kemudian tak berapa lama,
hafsa tampak menyandarkan kepalanya di ranjang dengan badan masih terduduk di
kursi. Dirinya merasa sangat mengantuk, semalaman bergadang menunggui Arya yang
belum sadar. sehingga tak butuh waktu lama, hafsapun terlelap dalam tidurnya.