Selasa, 17 September 2019

haruskah......

haruskah aku berhenti berharap akan kamu
atau
haruskah aku berharap berhenti nafasku

Jumat, 15 Maret 2019

Balada Tukang Ngarit


Lagi wayahe esuk-esuk, weruh kembang apik nemen. sung apik nemen. pan tak demek, ora penak wong wayahe tesih esuk. pan ndedeki ya kayong ora pantes, wong deweke tukang ngarit. pantese ya kudune ndeleng suket. ora pantes ndedeki kembang mau sing apike kaya kae.

Nyong ngacak lunga luruh suket sing akeh, ben weduse hasil kena go tuku klambi sing pantes, ben dang niliki kembang mau kayong semadan pantes. Barang wis awan, pengrasa wis nganggo klambi semadan pantes ning awak. ngacak pan niliki kembang sing lagi esuk. jebule wis ana sing njukut. kembange wis ana sing ‘nuku’. 

Lha ya wis lah arane urip, laka sing paham. Sekiki pan ana apa, pan kejaden apa laka sing paham. Kejaba mung Pengeran. kue jare batua, sing wis ngranapi urip wiwit jaman sega jagung. Nyong mung bisa olih kabar, lamon kembang mau wis dipasrahna karo wong sing tuku. wonge kue mau karepe sing ndue kembang. Monine tah, wong sing nandur, sing ngopeni kembang mau pengine kembange dituku karo wong adoh. 

Saiki, kembange katone tah seger, warnane ya tambah apik. Genah lagi esuk ya apik saiki barang awan ya katone tambah apik. Apa maning serngenge-ne pinter, sinare ora kurang-kurang go madangna kembang mau. Nyong sing nyawang dadi melu seneng. Senajan seger temenan apa ora, mbuhlah. Nyong mung nyawang.

pambelihlah, kembange ben urip tentrem,

Kehadirannya


“Pagi Pak Arya,” sapa seorang wanita dengan jas putih yang melekat di badannya, ciri khas seragam seorang dokter. Dengan  senyuman manis, dia menyapa, “Sepertinya pak Arya tampak sangat sehat, tak terlihat seperti orang yang habis koma.” Aku tak begitu serius memperhartikan apa yang diucapkan dokter. Aku merasa masih sedikit lemah setelah terbangun dari tidurku, apalagi ada rasa nyeri yang di bagian belakang kepala. Aku memperhatikan dokter yang sedang melakukan tugasnya, memeriksa kondisiku. Parasnya cantik dan manis. Dokter tidak sendiri, dia ditemani seorang suster yang juga tampak ramah. Mereka menghadiahiku dengan senyuman sambil menanyai tentang keadaanku. “Bagaimana keadaan pak Arya?? kami harap jauh lebih baik!!” tanya sang dokter. “Boleh saya duduk dokter?” pertanyaanku meminta ijin kepada dokter, “ohh tentu saja pak, karena badan bapak harus sedikit-sedikit mulai digerakan” jawab sang dokter. Kemudian akupun menggerakan badanku, berusaha untuk duduk bersandar.
Aku        : “sudah berapa hari saya di sini dokter?”.
Dokter  : “ini hari kedelapan, pak Arya berada di kamar ini”.
Aku        : “delapan dok? Apakah dokter sedang bercanda??”, dengan sedikit tidak percaya.
Dokter  : “Apa saya tampak bercanda pak? Tapi sudahlah pak, nanti saja kita jelaskan. Yang terpenting pak Arya sudah siuman dan tampak fit.”
Aku        : “baiklah dokter”.

Aku terdiam, memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. Aku mencoba mengingat sejauh yang kubisa apa yang sebelumnya terjadi. Lalu……., apakah betul delapan hari aku di sini??. Ah…….., kepalaku terasa berat. Bukankah terakhir aku habis dari toko buku?? Lalu….. ahh…. Kenapa aku ada di sini??. Akhirnya aku mencoba berdamai dengan apa yang diucapkan dokter, aku mencoba mempercayainya.

Aku        : “dok, selama di sini apa ada yang datang menjenguk atau apa??”
Dokter  : “tentu pak, dua hari pertama pak arya ditemani mba Dini. Tapi karena alasan yang sangat penting dia tidak bisa menemani pak arya di hari selanjutnya”.
Aku        : “Dini siapa dokter?”
Dokter : “Pak Arya tidak kenal atau …….. ??”
Aku        : “nama dini kan banyak dok”
Dokter  : “Oh iya, pak arya benar juga”,

Sang dokter tampak menulis sesuatu di papan catatan yang dibawa oleh suster, entah apa yang ia tulis, tetapi raut wajahnya menampakan ada hal yang serius.

“Oh ya pak Arya,” kata suster, “dua hari ini, bapak ada yang menemani lho, mba-mba cantic lho, namanya mba Hafsa, Selly Hafsa, katanya dia teman sekolah bapak sewaktu SMP.” Lanjut sang suster. “Ohh… Hafsa, iya suster, dia teman SMP saya.” Aku menyahut perkataan suster, “Sekarang dia dimana suster??”. “Mungkin lagi keluar pak, katanya sih mau cari makanan.” jawab suster. Hmmm……, aku mengambil nafas dalam-dalam, untuk memberikan kesempatan bagi pikiranku mencerna apa-apa yang kudengar. Masih banyak yang mengganjal dan menjadi pertanyaan dalam pikiranku, tentang mengapa bisa sampai delapan hari aku disini, tentang Dini, dan tentang mengapa si Hafsa bisa tahu aku berada di sini.
Selly Hafsa, aku mengenalinya sejak kami sama-sama duduk di bangku SD. Kami satu sekolah, bahkan sering satu kelas. Dia cantik, manis, dan menarik. Memang kata teman-teman dia kadang menunjukan sikap sedikit ‘galak’ tetapi dia tetap menawan. Dia siswi yang pintar. Saat kelas enam, dia peringkat tiga di kelas. Ketika masa SMP, kami juga satu sekolah dan pernah satu kelas kembali, setidaknya saat kami kelas tiga SMP. Mungkin yang tak akan pernah sirna dari ingatanku adalah tentang dirinya sebagai seorang mayoret. Yah…., Selly Hafsa seorang mayoret. Ketika dia berdandan sebagai mayoret, keanggunannya makin tampak, keelokan rupanya makin jelas dan keindahan parasnya menjadi sulit lekang dalam ingatan.

Dokter  : “baiklah pak Arya, kami rasa kondisi bapak sangat baik, cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga dan kesembuhan luka bapak, jika tenaganya sudah pulih, mungkin besok pak Arya bisa pulang.”
Aku        : “Sungguh dokter??”
Dokter  : “tentu pak Arya!”, sambil merapikan stetoskop-nya, “kami permisi pak, semoga cepet pulih.”
Aku        : “Trimakasih dokter suster”.

Sambil tersenyum merekapun melangkah pergi berlalu meninggalkan ruangan tempat aku dirawat. Sesampainya di pintu mereka berpapasan dengan seseorang lalu terdengar suara seseorang. “Bagaimana keadaan Arya, dokter, suster??”. Suara seorang wanita yang tak asing bagiku, dialah Selly Hafsa. Wanita yang sampai sekarang tetap saja sulit hilang dari ingatan. “Pak Arya sudah sadar, mba Hafsa tidak perlu khawatir,” jawab dokter. Sambil duduk bersandar ditempat tidur kuperhatikan mereka berbicara. Kemudian dokterpun melanjutkan perkataannya, “Secara fisik kondsinya sangat baik, tetapi…….,” dokter terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. Akupun merespon dengan senyuman pada dokter yang rupawan itu. “mba Hafsa nanti bisa temui saya, ada hal yang perlu saya sampaikan.” Setelah mengucapkan kalimat itu, dokter dan susterpun berlalu meninggalkan Hafsa yang masih berdiri di depan pintu.

Aku menatapi seseosok wanita anggun yang sedang berdiri, yang telah lama tidak berjumpa. Seperti ada rasa canggung dan nervous dalam situasi seperti ini. Hafsa berjalan pelan melewati pintu, selangkah demi selangkah ia mendekatiku. Kini dia berdiri di sebelah ranjang perawatanku.

Hafsa     : “Apa kabar Ar?? Lama tak jumpa”
Aku        : “Aku baik, bahkan sangat baik. Setidaknya itu kata dokter.”
Hafsa     : “Syukurlah.”
Aku        : “Kamu bagaimana?”

“permisi….,” terdengar suara dari luar memotong pembicaraan kami. “iya suster…,” sahut Hafsa. Suster melngkah menuju kami lalu ia kembali berkata, “mba Hafsa diminta ke ruangan dr. Mariska, seperti yang tadi sudah disampaikan tadi”. “Hal apa ya suster,” tanya hafsa. “Nanti saja dr. Mariska yang lebih tahu.” Jawab suster. “temuilah dr. Mariska” aku menyela obrolan mereka seraya meminta Hafsa menemui dokter. “baiklah, tapi kamu makan ini ya….., sudah aku belikan ini buat kamu, makan ya!”. Hafsa pun menuruti perintah suster dan ucapanku.

Suster dan Hafsa berlalu pergi keluar dari ruangan ini. Aku menoleh ke samping, disebelah kanan ranjang perawatanku. Hmmmm……., dia masih saja ingat apa yang aku suka. Meskipun mungkin belum boleh kumakan. Hafsa….. Hafsa…… .

POV Orang Ketiga

Sementara itu di ruang kerja dr. Mariska, tampak tiga orang sedang berada di sana. Dr. Mariska yang duduk di kursi kerjanya, dan Hafsa duduk di kursi tamu, sementara Suster berdiri di sebelah kiri dr. Mariska.
dr. Mariska         : “mba Hafsa ini sebenarnya apanya, maaf, siapanya pak Arya??”
Hafsa                     : “bagaimana ya dok, saya sebenarnya Cuma teman sekolahnya Arya, itupun Sepuluh tahunan yang lalu dok, temen SMP.”
dr. Mariska         : “kenapa mba Hafsa bisa tahu keadaan pak Arya?? Apa teman dekat?? Sering komunikasi??”
Hafsa                    : dengan tersenyum menjawab pertanyaan dokter “Ini perjumpaan pertama kali kami setelah kami lulus SMP dok,”
Dr. Mariska         : “tapi kok…..”
Hafsa                     : memotong ucapan dokter,  “Maaf dok, katanya ada hal yang ingin dokter sampaikan??, mengenai saya dengan Arya, nanti saja”
Dr. Mariska         : “Oh iya maaf, jadi begini mba Hafsa,…………….” Dokter terdiam sejenak. “Sepertinya ada gangguan di memori pak arya”
Hafsa                     : “ganguan bagaimana dok??apa dia lupa ingatan atau semacamnya??”
Dr                           : “kami juga masih belum bisa menyebutnya sebagai lupa ingatan, buktinya pak arya masih ingat mba Hafsa dengan baik”
Hafsa                     : “lalu gangguan apa dok?”
Dr                           : “kami belum tahu jenis gangguan ingatan apa itu, tetapi ada sebagian memori pak arya yang hilang, maksud saya, yang tak dingat olehnya. Pak arya tidak ingat kejadian kecelakaan penyebab dia masuk RS. Padahal menurut kami kecelakaannya tidak parah. Andini yang bersamanya tidak mengalami cidera yang berarti. Tetapi pak Arya hanya terbentur sandaran jok Kopaja bisa mengalami koma dan lupa ingatan.”
Hafsa                     : “tapi saya lihat arya tampak sehat dan normal dokter”
Dr                           : “Iya mba benar, pak Arya memang tampak sangat baik dan sehat. Tetapi waktu saya tanya tentang mba Andini dia tidak tahu, tidak ingat sama sekali, hmmmmm….”, dr. Mariska menarik nafas lalu melanjutkan omongannya, “Apa mba Hafsa tahu lebih jauh tentang pak Arya? Mungkin pak arya pernah jatuh dan kepalanya membentur benda keras atau pernah kejatuhan benda yang lumayan berat??”

Hafsa                     : “tidak banyak dokter, kami berteman saat SMP, saat kami masih menjadi remaja-remaja kecil, yang masih suka bermain-main bersama”

Hafsa terdiam, pikirannya meluncur ke masa silam. Saat dirinya masih menjadi remaja kecil seperti yang ia ucapkan kepada dokter. Dalam hatinya berkata, “mungkinkah karena kejadian itu. Tapi sepertinya tidak mungkin. Andaikan iya………, oh Arya maafkan aku. Andai saja kamu tak menatapiku sebegitunya pasti kamu tidak akan mengalaminya. Kamu tidak akan jatuh terserempet motor itu. Tetapi…….”, pikiran hafsa masih berkecamuk antar iya, mungkin, atau pasti tentang kemunkinan kejadian itu.

Dr                           : “ya sudah, karena belum ada keluarga pak Arya yang datang dan kami percaya kepada mba Hafsa, kami mohon mba Hafsa bersedia membantu pak arya menemui kembali ingatannya”
Hafsa                     : “saya harus bagaimana dokter?”
Dr                           : “mungkin ini bisa membantu mba Hafsa”, sambil menyodorkan sebuah amplop kepada hafsa.
Hafsa                     : “baiklah dokter, kalau begitu saya boleh ke kamar Arya lagi dokter??”
Dr                           : “Silahkan…..”

Hafsa beranjak dari tempat duduknya, berdiri lalu membalikan badan dan melangkah pergi menuju ke kamar Arya. Setelah beberapa langkah dia meninggalkan ruangan dr. Mariska, dia melihat sisi belakang amplop yang kini dipegangnya, “Andini Eka Manita”, hatinya membaca tiga kata yang tertulis di belakang amplop. “Haruskah aku langsung menyerahkannya, atau melihat isinya?  kalau surat pribadi, bagaimana”. Hafsa bertanya pada dirinya sendiri. “Mungkin nati saja aku menyerahkannya. Tapi…….”. Meskipun ragu dan khawatir, Hafsa akhirnya berenti sejenak lalu membuka isi amplop yang ia pegang. Namun sayang, isi tulisannya membuat Hafsa bertambah bingung. “maksudnya apa ini?, kata dr. Mariska ini bisa membantu Arya mengembalikan ingatannya. Kok cuma seperti ini isinya…..”

“Perpustakaan Umum Kab. Brebes,
Kamus Umum Jepang-Indonesia,
terbitan Pustaka Bahasa 2000 cetakan ke-2.
Halaman 233,

Andini Eka Manita”

Hafsa-pun mengembalikan amplop seperti semula, memasukan kertas isi surat kedalam amplopnya. Dia lalu meneruskan langkahnya ke kamar Arya. Dan sampailah Hafsa di sebelah Arya yang masih tiduran setengah duduk di tempatnya sambil memperhatikan tayangan TV di kamar rawat inapnya.

Hafsa     : “Hai Ar”
Arya       : “Hai ….., apa yang kalian bicarakan di sana??”
Hafsa     : “Soal administrasi rumah sakit Ar..” Hafsa terpaksa berbohong, menyembunyikan apa yang disampaikan dokter.
Arya       : “tidak ada yang lain??”
Hafsa     : “he’eh”

Mereka salig diam satu sama lain untuk beberapa saat lamaya. Arya, walau bagaimanapun masih canggung untuk berbicara banyak kepada Hafsa. Karena sudah lama tak berjumpa. Sementara Hafsa bingung dengan apa yang kini dihadapinya. Soal dirinya dan soal Arya. Dia seperti bingung apabila kedepannya akan dihadapkan pada situasi harus memilih atau berada disebuah persimpangan jalan.
Sambil duduk di kursi di sebelah ranjang Arya, Hafsa menundukan kepala. Pandangan matanya tertuju pada jari manis di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memgang kiri, tampak ibu jarinya sedang memegani cincin pertunangannya dengan seorang pria pilihan orang tuanya. “Hemmmmmm.” Hafsa tampak menarik nafas berat dan mendalam. “Oh Tuhan…., apa yang harus kulakukan, jika Dia tahu aku di sini apakah yang akan Dia lakukan, tapi jika aku biarkan Arya sendiri, bagaimana??” Hafsa membatin dalam hatinya.
Arya       : “Kha....”
Hafsa     : “Eh……, iya AR”
Arya       : “Kamu belum jawab pertanyaanku”
Hafsa     : “Pertanyaan apa yang mana?”
Arya       : “kabar kamu….”
Hafsa     : “kabarku baik Ar, ”
Arya       : “Dengan orang mana?”
Hafsa     : “Maksud kamu??”
Arya       : “Yang membuamu mengenakan cincin di jari manismu itu”
Hafsa     : “Nih orang…., sukanya lewat pantura ya….., gak berubah dari dulu. Kalau bertanya lewat tol saja biar cepet, gak muter-muter”
Arya       : “haha….”, tertawa pelan sambil memperhatikan ekspresi hafsa.
Hafsa     : “Kapan-kapan saja aku ceritanya. Sekarang kamu istirahat aja ya….., biar cepet sembuh.”

Arya menurut saja apa yang dikatakan hafsa. Kemudian tak berapa lama, hafsa tampak menyandarkan kepalanya di ranjang dengan badan masih terduduk di kursi. Dirinya merasa sangat mengantuk, semalaman bergadang menunggui Arya yang belum sadar. sehingga tak butuh waktu lama, hafsapun terlelap dalam tidurnya.