Minggu, 28 Oktober 2018

Pertemuan menuju perpisahan


“Arya..??!”, sebuah sapaan yang tiba-tiba terdengar sesaat setelah aku menaiki kopaja. Sapaan yang terasa merdu dari seorang wanita yang sepertinya pernah kukenali dan kudengar sebelumnya, namun entah kapan. Akupun mencari arah sumber sapaan itu, lalu sambil munjukan jariku kepada seseorang aku membalas saapaannya, “An…dini..??!”. Respon sapaan yang tampak ragu dan tidak percaya akan hadirnya sosok wanita yang telah lama tak berjumpa. “Andini Eka Manita, betul kan??!!” lanjutku untuk memastikan.

Dengan disertai senyum yang tampak manis dia berkata, “Iya, aku Andini Ar, kamu lupa??”. “Enggak kok”, jawabku, “boleh duduk sebelahmu??”, aku meminta izin padanya untuk duduk dibangku sebelah andini yang kebetulan kosong. Aku, ntah  kenapa selalu canggung dengannya. Padahal dulu waktu SMA kami cukup dekat, tetapi pertemuan ini seperti pertemuan pertama. Rasanya aneh, cangung, salah tingkah dan lainnya.

Setelah aku duduk di sebelahnya, akupun tak langsung memulai percakapan. Seperti biasa aku selalu tidak memiliki bahan untuk sekedar basa-basi dalam pembicaraan dengan Andini. Masa-masa sekolah dulu juga demikian, kedekatan kami lebih karena factor kegiatan sekolah, mengerjakan PR bersama, belajar bersama atau lainnya. Komunikasi yang terjadipun paling banyak saat-saat kegiatan tersebut. Namun ketika ada sesuatu yang menjadikanku penasaran, kadang aku sering lupa mengontrol pertanyaan dan perkataanku.

Andini : “Ar….,”.
Aku     : “Ya…Din”.
Andini : “Sebenarnya aku pernah melihatmu”.
Aku     : “Kapan Din?? Pas dimana??”.
Andini : “Sekitar empat tahun lalu Ar, di Tangerang”.

“di Tangerang”, aku langsung berfikir ketika Andini mengatakan pernah melihatku di Tangerang empat tahun lalu. Aku mencoba mengingat-ingatnya, empat tahun lalu berarti saat aku masih mengikuti pendidikan kedinasan, itu berarti dia mungkin benar melihatku, karena empat tahun lalu aku ada di Tangerang selama hampr setahun lebih.

Aku     : “Kamu serius Din?? Bukannya aku tidak percaya, tapi mungkin kamu salah lihat”
Andini : “Serius Ar, Aku tuh ingat betul wajah kamu dan ciri-ciri kamu”.

Deg, seperti ada hentakan di jantungku, apakah segitunya Andini mengingat diriku?? Ah…., aku jadi gede rasa (GR).

Andini : “Aku itu ingat sekali dengan kamu, Ajo, Obi juga si Tama”,
Aku     : “Oh…..”

Hmmm…., aku kira….., memang Andini siswi yang pintar, jangankan mengigat orang, mengingat rumus yang rumitpun dia bisa teliti. Dulu setiap rumus dan cara menyelesaikan soal yang aku contohkan kepadanya, dia sangat mudah memahami dan menghafalnya.

Aku     : “Kenapa tidak menghampiri, mendatangiku….? Atau sekedar menyapaku Din?”.
Andini : “Gak tau lah Ar…..”, sambil menghela nafas dalam-dalam.
Andini terdiam. Aku memperhatikan tangannya yang tampak makin erat memegangi buku yang dia bawa. Seperti ada yang ingin dia sampaikan tapi ragu-ragu untuk diucapkan. Aku pun memberanikan diri menoleh ke kanan melihat wajahnya. Dan saat bersamaan pula ternyata Andinipun menoleh kekiri. Kamipun bertatapan, pandangan kami beradu seperti mencurahkan rasa kangen. Kami bertatapan mata untuk beberapa waktu. “Aku tidak mungkin mengganggumu Ar”. Aku masih menatapi wajahnya sambil menunggu dia meneruskan kata-katanya. Rona wajah ayunya masih seperti dulu tak banyak yang berubah. Hanya tampak kematangan dan kedewasaan yang tampak di mataku. Delapan tahun silam, saat hari perpisahan kelas kami di rumah Lukman, teman kelas kami, merupakan terakhir pertemuan kami.

Aku     : “Mengganggu apa Din??”
Andini : “Aku melihatmu sedang dengan seseorang wanita, Aku melihat kamu ar”.
Aku     : “…………”
Andini : “Waktu itu, kamu tampak asik dan seris berdialog dengannya. Kamu dengannya duduk bersebelahan di kursi tunggu di peron stasiun Tanah Tinggi. Kamu terlihat sangat menikmati moment saat itu Ar, dan aku melihatmu Ar, kamu memakai kaos biru berkerah, blue jeans, dan spatu putih”

Mendengar Andini berbicara menceritakan dirinya pernah melihatku, Aku hanya bisa menerawang jauh melalui jendela kaca Kopaja, Andini ingat semua apa yang dia lihat. Bahkan sampai warna spatu putihkupun dia ingat. Namun, mengapa waktu itu dia tidak menghampiriku. Aku mengalihkan pandanganku kembali ke depan. “Apakah saat itu sulit bagimu untuk sekedar mnghampiri dan menyapaku Din??”, tanpa memandang ke arahnya aku melontarkan pertanyaan. 
Mendengar pertayaanku, Andini merubah posisi badannya. Semula dia duduk agak miring kekiri menghadap ke arahku, lalu ia merubah posisi duduk dan pandangannya lurus ke depan. Apakah dia tersinggung.
Andini : “Seharusnya aku menggunakan kata ‘mesra’ Ar bukan asik atau serius”
Aku     : “Maksud kamu??”
Andini : “Harus aku ulang ucapanku sebelumnya???”
Aku terdiam tak bisa membalas kalimatnya yang terakhir. Aku tak paham apa maksud Andini, namun setelah beberapa saat aku baru memahami maksud dari kata-katanya. Aku mencoba menyelami ingatanku yang dulu. Empat tahun yang lalu aku memang sedang dekat dengan Marisa meskipun tak ada komitmen di antara kami. Seorang wanita yang kukenal dekat sebatas sesama peserta didik kedinasan. Kehadiran Marisa sanggup mengobati dan mengalihkan rasa bersalahku bila mengingat peristiwa perpisahan di rumah Lukman. Kepada Marisa, aku memang lebih percaya diri, sehingga dalam berbagai kesepatan berbicara, berbincang-bincang atau moment apapun aku lebih menikmati bahkan sesekali aku menggoda Marisa. Meskipun dalam hati dan pikirianku bukanlah Marisa. Hmmmm……, mungkin saat itu, saat aku menggoda Marisa dan tampak mesra dengannya, Andini melihatku.
Kami seperti kehilangan bahan pembicaraan, aku masih terdiam dan begiyupun Andini. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesekali aku menoleh kearahnya, kulihat dia sedang memandang jauh keluar mengamati sesuatu di luar jendela. Mobil Kopaja yang kami tumpangi melaju cukup kencang menyusuri jalanan ibu kota yang lengang.Sesekali abang kondektur teriak nama-nama halte dan tempat pemberhentian penumpang. “Senen.....Senen.....”, begitulah suaranya yang terdengar khas dari logat Bataknya.
Andini : “Ar.., apakah kamu masih ingat pertemuan terakhir kita?”, tiba-tiba Andini membuka kembali pembicaraan kami.
Aku     : “Hmm....., sudah tidak banyak yang aku ingat Din”.
Andini : “Kamu pasti ingin melupakan saat-saat itu kan??”.
Aku     : “Delapan tahun Din, telingaku masih terngiang isak tangismu”.
Aku     : “………”, terdiam sesaat.
Aku     : “Delapan tahun, aku masih terbayang raut wajahmu yang waktu itu basah oleh air matamu. Tetapi….., tak ada penjelasan apapun darimu.”.
Andini : “Seharusnya kejadian itu sudah terlupakan olehmu Ar, apalagi soal tangisanku itu”
Aku     : “Apakah aku tidak punya hak untuk tahu penjelasan kamu??”
Andini : “Tentu Ar, kamu punya hak untuk tahu, tapi percuma. Itu masa lalu Ar, delapan tahun yang lalu. Meski aku ungkapkan sekarang tak akan ada arti apapaun untuk kamu”. Dia terdam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya, “Dulu aku berharap kamu menghampiriku dan menanyaiku, kenapa aku menangis”.
Dari nada suaranya, aku menduga ada hal yang menyesak di dalam dada Andini. Apakah dia merasa sedih mengingat waktu itu, ataukah mungkin ada harapan yang seharusnya terjadi tapi tak ternyata tak sesuai harapannya. Dulu….., usai acara perpisahan aku memang tak sempat menghampirinya apalagi untuk menanyakan alasan dia menangis.
Aku     : “Maafkan aku Din, aku salah yang tidak bisa memahami perasanmu yang dulu”.
Andini : “Lupakan sajalah Ar, karena kedepan kita juga tidak akan bertemu lagi”
Aku     : “Maksud kamu??”
Andini : “Iya…., aku bersukur bisa bertemu dengan kamu, sebelum keberangkatanku ke New Zealand, minggu depan. Mungkin jika tidak hari ini, ntah kapan ada kesempatan seperti ini, bida tiga atau lima tahun kedepan Ar”.
Aku     : “Maksud kamu……, kamu akan lama di sana??
Andini : “Iya Arya, aku dapat beasiswa S2 di sana dan ada kewajiban magang selama dua atau empat tahun”, dia terdiam, “berat juga sih Ar, tapi kesempatan ini mungkin hanya sekali”.

Ada rasa yang sangat mendalam dalam diriku, begitu sesak rasanya di dada ini. Entah mengapa aku merasa berat mendengarkan apa yang Andini utarakan. Sekian lama tidak pernah berjumpa, tidak pernah berkomunikasi namun saat ada kesempatan bertemu dengannya, Andini justru mengabarkan akan kepergiannya. Aku mencoba tetap senyum lalu berkata, “Kamu kesampaian juga yah…S2 di sana. Antara New Zealand atau Norwegia, akhirnya kamu kesampaian di salah satunya”. Mendengar ucapanku, Andini seperti heran kemudian bertanya padaku “Kamu tahu impianku Ar??”. Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan mencoba menginat apa yang tertulis dalam buku catatan harian Andini yang pernah aku “pinjam” tanpa sepengetahuannya.

Waktu itu kalau tidak salah, hari Selasa ketika kelas kami melaksanakan kegiatan olahraga, teman-teman sekelas sudah berada di lapangan termasuk Andini. Sementara aku masih di dalam kelas berganti baju olahraga karena sebelumnya aku baru saja dipanggil oleh Bu Titik, guru matematika kami, sekaligus guru pembimbing Lomba Karya Ilmiah Remaja. Selesai berganti baju akupun berjalan menuju pintu ruang kelas. Sewaktu melewati banku Andini aku melihat buku harian andini terjatuh di kolong meja. Aku beraksud mengambil dan memasukan kedalam laci mejanya, namun ada rasa iseng untuk sekedar membuka-bukanya. Tidak sempat membaca banyak isi buku hariannya, hanya beberapa halaman saja. Salah satunya yang aku baca dan masih kuingat adalah apa yang kini akan aku sampaiakan pada Andini:

23 Agustus 2003,

Andai setiap mimpi adalah sekedar bunga tidur
Maka kurela dan kubiarkan ia pergi kabur

Andai mimpi akan jadi nyata dan bahagia
Maka ijinkan cita-citaku berada di Norwegia

Andai mimpi adalah sekedar impian
Maka biarkan saja itu jadi lamunan

Andai mimpi adalah kehendak Tuhan
Maka dengan kehendak-Nya aku ingin ke New Zealand

Semoga saja aku bisa kuliah di sana…., S2…… Amiiin.

Puisi Doa Andini Eka Manita

Begitulah aku membacakan puisi yang kuingat dari isi buku harian Andini sendiri. Untung penumpang KOPAJA tidak terlalu banyak karena sudah berangsur-angsur turun di tempat tujuannya masing-masing dan hanya tersisa sekitar lima orang saja, semuanya duduk di bagian depan.

Andini : “Kok kamu bisa tahu, itu tulisanku Ar. Kamu……”.
Aku     : memotong perkataan andini, “Aku tidak sengaja melihat bukumu berada dikolong meja, lalu aku bermaksud mengebalikan ke laci mejamu. Maafkan aku Din. Aku seharusnya tidak seiseng itu membuka dan membaca catatan harian kamu”.
Andini : “Jadi kamu yang menambahkan kata Amiiin di halaman itu??”
Aku     : Mengangguk, “Iya, maafkan aku. Aku hanya bisa mendoakanmu”.
Kami sama-sama terdiam, Andini menyadnarkan kepalanya di jok (kursi) dengan sedikit menolehkan kepalanya ke arah luar. Entah apa yang dia pikirkan, tanganya yang masih memgangi buku-buku yang dibawanya, sementara tatapan matanya jauh keluar. Sementara aku seperti lupa dengan keinginanku untuk mengetahui masa laluku, tentang alasan mengapa wanita cantik nan rupawan yang sedang berada di sebelahku ini sampai menangis waktu itu, menangis di hari perpisahan kelas. Kini yang kupikirkan adalah seolah ada bayangan kelam yang akan menyelimuti. Tak bisa kubayangakan harus ada masa selama lima tahun lagi. Kurun waktu yang cukup lama untuk sebuah penantian kedua. Sekian lama aku menunggu kesempatan ini, kesempatan untuk mencoaba mengawali dan membangun sebuah hubungan dan komitmen dengan dirinya, tetapi ternyata waktu lebih menginginkan aku kembali jauh dengan Andini. Akan ada waktu panjang lagi yang harus kuhadapi.
Aku     : “Hari apa kapan kamu akan terbang kesana?”
Andini : “Sebenarnya dua minggu yang lalu aku harusnya sudah ada disana, tetapi aku mengajukan ijin menundanya. Karena aku ingin melepas bebanku yang selama ini kurasakan, agar disana aku bisa benar-benar konsentrasi dengan kuliahku”
Aku     : “Apa yang kamu rasakan, beban apakah yang ada dipikiranmu, mungkin aku bisa membantumu?”
Andini : “Ar.., sebelum mendaftar program beasiswa ini, aku berusaha mencari kamu, aku ingin menceritakan cita-citaku ini kepadamu Ar. Aku ingin kamulah yang memberikan support padaku setelah keluargaku”.
Aku     : “Andini Eka Manita, untuk apa dan mengapa kamu harus repot-repot melakukan itu, mencariku hanya untuk minta support?? bukankah aku juga sudah tahu dari buku catatan harianmu”
Andini : “Mengapa sih sejak dulu kamu itu tidak pernah bisa mengerti dan paham kata-kata dan maksudku, Arya Wira Mufti yang katanya pintar itu”.
Aku     : Aku menjadi terdiam mendengar ucapannya yang tampak merajuk. Entah apa maksudya. “Sungguh aku tidak tahu Din, mengapa kamu harus mencariku cuma untuk menceritakan itu semua”.
Andini : “Arya..., aku mencintamu, aku sayang sama kamu, aku ingin cita-citaku ini kamu ketahui dan kamu setujui. Kamu sudah tahu atau belum, kamu sudah baca diaryku atau belum, aku ingin cerita tentang semua keinginanku dan cita-citaku cerita apa yang ingin aku gapai, aku raih. Dan aku ingin kamulah yang memberikan semangat untuk ku Ar, suport dari kamu agar disana aku bisa tenang dan fokus kuliah.”
Seperti seoarang yang kehilangan ingatan, aku hanya bisa termangu seraya takpercaya mendengar pernyataan yang Andini ungkapkan. Tak pernah kusangka sedalam itu perasaan yang dia miliki terhadapku dan dia memendamnya. Apakah selama ini dia menjaga perasaannya itu. Aku masih tak bisa berkata apa-apa. Dan sepertinya Andinipun terdiam setelah mengutarakan beban pikiran dan perasaan hatinya.
Andini : “Sejak aku dinyatakan lolos seleksi dan menunggu jadwal berangkat, aku berusaha mencarimu. Hamper dua bulan aku terus mencarimu. Aku bertanya kepada teman-teman kita dulu. Tapi entahlah, mengapa kamu sperti sulit sekali ditemukan. Setiap minggu aku mencarimu dan menunggumu di Stasiun Tanah Tinggi.”
Aku     : “Maksud kamu, kamu suka ke stasiun itu untuk mencariku?”
Andini : “Iya Ar, sejak dua bulan lalu, setiap sabtu dan minggu sore aku ada di sana, hanya untuk menunggu dan maecarimu, tapi tak pernah ada. Aku putus asa mencarimu, hingga aku putuskan dengan keyakinanku, bahwa kamu akan merestui cita-citaku dari kejauhan”
Aku     : “………………………”.

Mendengar kata-kata Andini yang kembali mengungkapakan betapa dia menaruh rasa yang sangat mendalam kepadaku, membuat aku tak bisa memungkiri dan berpura-pura terus, bahwa sebenarnya akupun sangat mencinatai dirinya menyayanginya. Sejak kelas satu SMA pandanganku sudah ada tanda-tanda terpaut padanya. Kelas dua SMA pandanganku mulai mengakar ke dalam hati menumbuhkan benih-benih rasa suka dan cinta kepadanya. Lalu menginjak kelas tiga, aku tak bisa membendung perasaanku, hati dan pikiranku sebagian besar tertaut padanya. Sehingga belajarku terganggu, nilaikupun menurun.

Tetapi sesuka apapun, secinta apapun kepada wanita, aku tak akan pernah mengutarakannya sampai aku meyakini sang wanita merupakan wanita yang akan menjadi pendamping hidupku alias istriku kelak. Sementara perasaan di masa-masa SMA, aku yakini perasaan emosional, dan tak mungkin aku utarakan rasa suka dan cinta pada seseorang yang belum tentu akan jadi pendampingku. Akupun memendam dan menahan perasaan itu. Mungkin sekaranglah waktunya aku utarakan semuanya.

Aku mulai mencoba mengutarakan perasaanku, “Memang sejak awal kita saling mengenal, Aku merasa ada banyak ketidak samaan di antara kita, kita seolah sulit bersama. Aku suka A kamu suka B, kamu ingin seperti ini aku sebaliknya. Tapi yah…mungkin itulah kutub postof dan negative, tak akan pernah sama, tapi ditakdirkan bersama.” Aku diam sejenak untuk mnghela nafas dalam-dalam mempersiapkan kalimatku berikutnya, “Aku mencintaimu juga Din, aku sayang sama kamu. Seharusnya dari dulu aku katakan ini kepadamu”

Andini : “Jadi......”,
Aku     : “Iya”.

Aku menmberanikan menggerakan tanganku untuk meraih telapak tangan Andini dan menggengamnya. Andinipun mengerti dan membiarkan aku menggenggam telapak tangannya. Kemudian dia menyandarkan kepalnya di bahu kananku. Kami tampak dua sejoli yang sedang pacaran dan kasmaran di dalam KOPAJA. “Butuh waktu cukup lama, kita bisa salaing mengakui semuanya” ujarku. “Iya delapan tahun Ar, delapan tahun kita membohongi dirikita sendiri”.

Andini : “Ar.....”
Aku     : “Hmmm...ya,”
Andini : “Dulu, aku menangis karena aku menyesali diriku sendiri, mengapa harus kamu yang aku sukai, mengapa harus kamu yang aku sayangi. Padahal aku tahu kamu tak pernah mengenal wanita, yang kamu kenal cuma pelajaran, pelajaran dan teman-temanmu itu, saat itu aku begitu tersiksa, mengapa sampai perpisahan terjadi kamu tak pernah mengerti bahasa wanita yang mengharapan balasan cinta.”

Kemabli aku hanya bisa terdiam. Ingin rasanya kumaki diriku sendiri yang tak pernah bisa memahami bahasa cinta.

Aku     : “Maafkan aku din,” hanya itu yang bisa kukatakan.
Andini : “Sekian lama, aku menyimpan semua ini, menjaga perasaanku hanya untukmu dan menolak semua yang datang menghamiri untuk menghormatimu. Karena cuma kamu yang aku cintai.” Andini lalu meloloskan tangnnya dari genggamanku dan berbalik menggenggam tanganku, lalu melanjutkan kata-katanya, “Izinkan aku pergi, untuk meraih cita-citaku Ar, restui keberangkatanku.”
Berat memang rasanya, jika harus mengijinkan kepergian seseorang yang baru saja datang dan bertemu. Apalagi seseorang yang selalu mengisi pikiran dan hati. Tetapi lebih berat jika harus membuatnya kecewa jika aku tak mengatakan “Iya”. Tak tega rasanya melihatnya kecewa, akhirnya akupun merelakan kepergiannya.
Aku     : “Kau adalah hal terindah yang pernah kulihat, entah terlihat dimataku atau sekedar hadir dalam bayanganku, keindahanmu selalu kurasakan. Berangkatlah...., raihlah semua yang kau impikan. Di sana kamu akan mendapati cerita baru yang lebih baik dari semua yang pernah kau lalui. Aku akan tetap bahagia, aku akan menungguimu.”
Andini : “Terimakasih....” , sambil mempererat genggaman tanggannya.
Tiba-tiba, abang kondektur berteriak “Awaaaassss........”. Brruaaakkkk. Sesaat kemudian kami tak ingat apa-apa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar