“Arya..??!”, sebuah
sapaan yang tiba-tiba terdengar sesaat setelah aku menaiki kopaja. Sapaan yang
terasa merdu dari seorang wanita yang sepertinya pernah kukenali dan kudengar
sebelumnya, namun entah kapan. Akupun mencari arah sumber sapaan itu, lalu
sambil munjukan jariku kepada seseorang aku membalas saapaannya, “An…dini..??!”.
Respon sapaan yang tampak ragu dan tidak percaya akan hadirnya sosok wanita
yang telah lama tak berjumpa. “Andini Eka Manita, betul kan??!!” lanjutku untuk
memastikan.
Dengan disertai
senyum yang tampak manis dia berkata, “Iya, aku Andini Ar, kamu lupa??”.
“Enggak kok”, jawabku, “boleh duduk sebelahmu??”, aku meminta izin padanya untuk
duduk dibangku sebelah andini yang kebetulan kosong. Aku, ntah kenapa selalu canggung dengannya. Padahal dulu
waktu SMA kami cukup dekat, tetapi pertemuan ini seperti pertemuan pertama.
Rasanya aneh, cangung, salah tingkah dan lainnya.
Setelah aku duduk
di sebelahnya, akupun tak langsung memulai percakapan. Seperti biasa aku selalu
tidak memiliki bahan untuk sekedar basa-basi dalam pembicaraan dengan Andini.
Masa-masa sekolah dulu juga demikian, kedekatan kami lebih karena factor
kegiatan sekolah, mengerjakan PR bersama, belajar bersama atau lainnya. Komunikasi
yang terjadipun paling banyak saat-saat kegiatan tersebut. Namun ketika ada
sesuatu yang menjadikanku penasaran, kadang aku sering lupa mengontrol
pertanyaan dan perkataanku.
Andini : “Ar….,”.
Aku : “Ya…Din”.
Andini : “Sebenarnya aku pernah melihatmu”.
Aku : “Kapan Din?? Pas dimana??”.
Andini : “Sekitar empat tahun lalu Ar, di Tangerang”.
“di Tangerang”, aku
langsung berfikir ketika Andini mengatakan pernah melihatku di Tangerang empat
tahun lalu. Aku mencoba mengingat-ingatnya, empat tahun lalu berarti saat aku
masih mengikuti pendidikan kedinasan, itu berarti dia mungkin benar melihatku,
karena empat tahun lalu aku ada di Tangerang selama hampr setahun lebih.
Aku : “Kamu serius Din?? Bukannya aku tidak
percaya, tapi mungkin kamu salah lihat”
Andini : “Serius Ar, Aku tuh ingat betul wajah kamu
dan ciri-ciri kamu”.
Deg, seperti ada
hentakan di jantungku, apakah segitunya Andini mengingat diriku?? Ah…., aku
jadi gede rasa (GR).
Andini : “Aku itu ingat sekali dengan kamu, Ajo, Obi
juga si Tama”,
Aku : “Oh…..”
Hmmm…., aku
kira….., memang Andini siswi yang pintar, jangankan mengigat orang, mengingat
rumus yang rumitpun dia bisa teliti. Dulu setiap rumus dan cara menyelesaikan
soal yang aku contohkan kepadanya, dia sangat mudah memahami dan menghafalnya.
Aku : “Kenapa tidak menghampiri,
mendatangiku….? Atau sekedar menyapaku Din?”.
Andini : “Gak tau lah Ar…..”, sambil menghela nafas
dalam-dalam.
Andini terdiam.
Aku memperhatikan tangannya yang tampak makin erat memegangi buku yang dia
bawa. Seperti ada yang ingin dia sampaikan tapi ragu-ragu untuk diucapkan. Aku
pun memberanikan diri menoleh ke kanan melihat wajahnya. Dan saat bersamaan
pula ternyata Andinipun menoleh kekiri. Kamipun bertatapan, pandangan kami
beradu seperti mencurahkan rasa kangen. Kami bertatapan mata untuk beberapa
waktu. “Aku tidak mungkin mengganggumu Ar”. Aku masih menatapi wajahnya sambil
menunggu dia meneruskan kata-katanya. Rona wajah ayunya masih seperti dulu tak
banyak yang berubah. Hanya tampak kematangan dan kedewasaan yang tampak di
mataku. Delapan tahun silam, saat hari perpisahan kelas kami di rumah Lukman,
teman kelas kami, merupakan terakhir pertemuan kami.
Aku : “Mengganggu apa Din??”
Andini : “Aku
melihatmu sedang dengan seseorang wanita, Aku melihat kamu ar”.
Aku : “…………”
Andini : “Waktu itu, kamu tampak asik dan seris
berdialog dengannya. Kamu dengannya duduk bersebelahan di kursi tunggu di peron
stasiun Tanah Tinggi. Kamu terlihat
sangat menikmati moment saat itu Ar, dan aku melihatmu Ar, kamu memakai kaos
biru berkerah, blue jeans, dan spatu putih”
Mendengar Andini
berbicara menceritakan dirinya pernah melihatku, Aku hanya bisa menerawang jauh
melalui jendela kaca Kopaja, Andini ingat semua apa yang dia lihat. Bahkan
sampai warna spatu putihkupun dia ingat. Namun, mengapa waktu itu dia tidak
menghampiriku. Aku mengalihkan pandanganku kembali ke depan. “Apakah saat itu sulit
bagimu untuk sekedar mnghampiri dan menyapaku Din??”, tanpa memandang ke
arahnya aku melontarkan pertanyaan.
Mendengar pertayaanku, Andini merubah posisi
badannya. Semula dia duduk agak miring kekiri menghadap ke arahku, lalu ia merubah
posisi duduk dan pandangannya lurus ke depan. Apakah dia tersinggung.
Andini : “Seharusnya aku menggunakan kata ‘mesra’ Ar
bukan asik atau serius”
Aku : “Maksud kamu??”
Andini : “Harus aku ulang ucapanku sebelumnya???”
Aku terdiam tak bisa membalas kalimatnya yang terakhir.
Aku tak paham apa maksud Andini, namun setelah beberapa saat aku baru memahami
maksud dari kata-katanya. Aku mencoba menyelami ingatanku yang dulu. Empat
tahun yang lalu aku memang sedang dekat dengan Marisa meskipun tak ada komitmen
di antara kami. Seorang wanita yang kukenal dekat sebatas sesama peserta didik
kedinasan. Kehadiran Marisa sanggup mengobati dan mengalihkan rasa bersalahku
bila mengingat peristiwa perpisahan di rumah Lukman. Kepada Marisa, aku memang
lebih percaya diri, sehingga dalam berbagai kesepatan berbicara,
berbincang-bincang atau moment apapun
aku lebih menikmati bahkan sesekali aku menggoda Marisa. Meskipun dalam hati
dan pikirianku bukanlah Marisa. Hmmmm……, mungkin saat itu, saat aku menggoda
Marisa dan tampak mesra dengannya, Andini melihatku.
Kami seperti kehilangan bahan pembicaraan, aku
masih terdiam dan begiyupun Andini. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sesekali aku menoleh kearahnya, kulihat dia sedang memandang jauh keluar
mengamati sesuatu di luar jendela. Mobil Kopaja yang kami tumpangi melaju cukup
kencang menyusuri jalanan ibu kota yang lengang.Sesekali abang kondektur teriak
nama-nama halte dan tempat pemberhentian penumpang. “Senen.....Senen.....”,
begitulah suaranya yang terdengar khas dari logat Bataknya.
Andini : “Ar.., apakah kamu masih ingat pertemuan
terakhir kita?”, tiba-tiba Andini membuka kembali pembicaraan kami.
Aku : “Hmm....., sudah tidak banyak yang aku
ingat Din”.
Andini : “Kamu pasti ingin melupakan saat-saat itu
kan??”.
Aku : “Delapan tahun Din, telingaku masih
terngiang isak tangismu”.
Aku : “………”, terdiam sesaat.
Aku : “Delapan tahun, aku masih terbayang raut
wajahmu yang waktu itu basah oleh air matamu. Tetapi….., tak ada penjelasan
apapun darimu.”.
Andini : “Seharusnya
kejadian itu sudah terlupakan olehmu Ar, apalagi soal tangisanku itu”
Aku : “Apakah aku tidak punya hak untuk tahu
penjelasan kamu??”
Andini : “Tentu Ar, kamu punya hak untuk tahu, tapi
percuma. Itu masa lalu Ar, delapan tahun yang lalu. Meski aku ungkapkan
sekarang tak akan ada arti apapaun untuk kamu”. Dia terdam sejenak lalu
melanjutkan kata-katanya, “Dulu aku berharap kamu menghampiriku dan menanyaiku,
kenapa aku menangis”.
Dari nada suaranya, aku menduga ada hal yang menyesak
di dalam dada Andini. Apakah dia merasa sedih mengingat waktu itu, ataukah
mungkin ada harapan yang seharusnya terjadi tapi tak ternyata tak sesuai
harapannya. Dulu….., usai acara perpisahan aku memang tak sempat menghampirinya
apalagi untuk menanyakan alasan dia menangis.
Aku : “Maafkan aku Din, aku salah yang tidak
bisa memahami perasanmu yang dulu”.
Andini : “Lupakan sajalah Ar, karena kedepan kita juga
tidak akan bertemu lagi”
Aku : “Maksud kamu??”
Andini : “Iya…., aku bersukur bisa bertemu dengan
kamu, sebelum keberangkatanku ke New Zealand, minggu depan. Mungkin jika tidak
hari ini, ntah kapan ada kesempatan seperti ini, bida tiga atau lima tahun
kedepan Ar”.
Aku : “Maksud kamu……, kamu akan lama di sana??
Andini : “Iya Arya, aku dapat beasiswa S2 di sana dan
ada kewajiban magang selama dua atau empat tahun”, dia terdiam, “berat juga sih
Ar, tapi kesempatan ini mungkin hanya sekali”.
Ada rasa yang
sangat mendalam dalam diriku, begitu sesak rasanya di dada ini. Entah mengapa
aku merasa berat mendengarkan apa yang Andini utarakan. Sekian lama tidak
pernah berjumpa, tidak pernah berkomunikasi namun saat ada kesempatan bertemu
dengannya, Andini justru mengabarkan akan kepergiannya. Aku mencoba tetap
senyum lalu berkata, “Kamu kesampaian juga yah…S2 di sana. Antara New Zealand
atau Norwegia, akhirnya kamu kesampaian di salah satunya”. Mendengar ucapanku,
Andini seperti heran kemudian bertanya padaku “Kamu tahu impianku Ar??”. Aku
tidak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan mencoba menginat apa yang
tertulis dalam buku catatan harian Andini yang pernah aku “pinjam” tanpa
sepengetahuannya.
Waktu itu kalau
tidak salah, hari Selasa ketika kelas kami melaksanakan kegiatan olahraga,
teman-teman sekelas sudah berada di lapangan termasuk Andini. Sementara aku
masih di dalam kelas berganti baju olahraga karena sebelumnya aku baru saja
dipanggil oleh Bu Titik, guru matematika kami, sekaligus guru pembimbing Lomba
Karya Ilmiah Remaja. Selesai berganti baju akupun berjalan menuju pintu ruang
kelas. Sewaktu melewati banku Andini aku melihat buku harian andini terjatuh di
kolong meja. Aku beraksud mengambil dan memasukan kedalam laci mejanya, namun
ada rasa iseng untuk sekedar membuka-bukanya. Tidak sempat membaca banyak isi
buku hariannya, hanya beberapa halaman saja. Salah satunya yang aku baca dan
masih kuingat adalah apa yang kini akan aku sampaiakan pada Andini:
23 Agustus 2003,
Andai setiap
mimpi adalah sekedar bunga tidur
Maka kurela dan
kubiarkan ia pergi kabur
Andai mimpi akan
jadi nyata dan bahagia
Maka ijinkan
cita-citaku berada di Norwegia
Andai mimpi adalah
sekedar impian
Maka biarkan
saja itu jadi lamunan
Andai mimpi
adalah kehendak Tuhan
Maka dengan
kehendak-Nya aku ingin ke New Zealand
Semoga saja aku
bisa kuliah di sana…., S2…… Amiiin.
Puisi Doa Andini
Eka Manita
Begitulah aku
membacakan puisi yang kuingat dari isi buku harian Andini sendiri. Untung
penumpang KOPAJA tidak terlalu banyak karena sudah berangsur-angsur turun di
tempat tujuannya masing-masing dan hanya tersisa sekitar lima orang saja,
semuanya duduk di bagian depan.
Andini : “Kok kamu bisa tahu, itu tulisanku Ar.
Kamu……”.
Aku : memotong perkataan andini, “Aku tidak
sengaja melihat bukumu berada dikolong meja, lalu aku bermaksud mengebalikan ke
laci mejamu. Maafkan aku Din. Aku seharusnya tidak seiseng itu membuka dan
membaca catatan harian kamu”.
Andini : “Jadi kamu yang menambahkan kata Amiiin di
halaman itu??”
Aku : Mengangguk, “Iya, maafkan aku. Aku hanya
bisa mendoakanmu”.
Kami sama-sama terdiam, Andini menyadnarkan
kepalanya di jok (kursi) dengan sedikit menolehkan kepalanya ke arah luar.
Entah apa yang dia pikirkan, tanganya yang masih memgangi buku-buku yang
dibawanya, sementara tatapan matanya jauh keluar. Sementara aku seperti lupa
dengan keinginanku untuk mengetahui masa laluku, tentang alasan mengapa wanita
cantik nan rupawan yang sedang berada di sebelahku ini sampai menangis waktu
itu, menangis di hari perpisahan kelas. Kini yang kupikirkan adalah seolah ada
bayangan kelam yang akan menyelimuti. Tak bisa kubayangakan harus ada masa
selama lima tahun lagi. Kurun waktu yang cukup lama untuk sebuah penantian
kedua. Sekian lama aku menunggu kesempatan ini, kesempatan untuk mencoaba
mengawali dan membangun sebuah hubungan dan komitmen dengan dirinya, tetapi
ternyata waktu lebih menginginkan aku kembali jauh dengan Andini. Akan ada
waktu panjang lagi yang harus kuhadapi.
Aku : “Hari apa kapan kamu akan terbang kesana?”
Andini : “Sebenarnya
dua minggu yang lalu aku harusnya sudah ada disana, tetapi aku mengajukan ijin menundanya.
Karena aku ingin melepas bebanku yang selama ini kurasakan, agar disana aku
bisa benar-benar konsentrasi dengan kuliahku”
Aku : “Apa yang kamu rasakan, beban apakah yang
ada dipikiranmu, mungkin aku bisa membantumu?”
Andini : “Ar.., sebelum mendaftar program beasiswa
ini, aku berusaha mencari kamu, aku ingin menceritakan cita-citaku ini kepadamu
Ar. Aku ingin kamulah yang memberikan support
padaku setelah keluargaku”.
Aku : “Andini Eka Manita, untuk apa dan mengapa
kamu harus repot-repot melakukan itu, mencariku hanya untuk minta support?? bukankah aku juga sudah tahu
dari buku catatan harianmu”
Andini :
“Mengapa sih sejak dulu kamu itu tidak pernah bisa mengerti dan paham kata-kata
dan maksudku, Arya Wira Mufti yang katanya pintar itu”.
Aku : Aku menjadi terdiam mendengar ucapannya
yang tampak merajuk. Entah apa maksudya. “Sungguh aku tidak tahu Din, mengapa
kamu harus mencariku cuma untuk menceritakan itu semua”.
Andini :
“Arya..., aku mencintamu, aku sayang sama kamu, aku ingin cita-citaku ini kamu ketahui
dan kamu setujui. Kamu sudah tahu atau belum, kamu sudah baca diaryku atau
belum, aku ingin cerita tentang semua keinginanku dan cita-citaku cerita apa
yang ingin aku gapai, aku raih. Dan aku ingin kamulah yang memberikan semangat
untuk ku Ar, suport dari kamu agar
disana aku bisa tenang dan fokus kuliah.”
Seperti seoarang yang kehilangan ingatan, aku hanya
bisa termangu seraya takpercaya mendengar pernyataan yang Andini ungkapkan. Tak
pernah kusangka sedalam itu perasaan yang dia miliki terhadapku dan dia
memendamnya. Apakah selama ini dia menjaga perasaannya itu. Aku masih tak bisa
berkata apa-apa. Dan sepertinya Andinipun terdiam setelah mengutarakan beban
pikiran dan perasaan hatinya.
Andini : “Sejak aku dinyatakan lolos seleksi dan menunggu
jadwal berangkat, aku berusaha mencarimu. Hamper dua bulan aku terus mencarimu.
Aku bertanya kepada teman-teman kita dulu. Tapi entahlah, mengapa kamu sperti
sulit sekali ditemukan. Setiap minggu aku mencarimu dan menunggumu di Stasiun
Tanah Tinggi.”
Aku : “Maksud kamu, kamu suka ke stasiun itu
untuk mencariku?”
Andini : “Iya Ar, sejak dua bulan lalu, setiap sabtu
dan minggu sore aku ada di sana, hanya untuk menunggu dan maecarimu, tapi tak
pernah ada. Aku putus asa mencarimu, hingga aku putuskan dengan keyakinanku,
bahwa kamu akan merestui cita-citaku dari kejauhan”
Aku : “………………………”.
Mendengar
kata-kata Andini yang kembali mengungkapakan betapa dia menaruh rasa yang
sangat mendalam kepadaku, membuat aku tak bisa memungkiri dan berpura-pura
terus, bahwa sebenarnya akupun sangat mencinatai dirinya menyayanginya. Sejak
kelas satu SMA pandanganku sudah ada tanda-tanda terpaut padanya. Kelas dua SMA
pandanganku mulai mengakar ke dalam hati menumbuhkan benih-benih rasa suka dan
cinta kepadanya. Lalu menginjak kelas tiga, aku tak bisa membendung perasaanku,
hati dan pikiranku sebagian besar tertaut padanya. Sehingga belajarku
terganggu, nilaikupun menurun.
Tetapi sesuka
apapun, secinta apapun kepada wanita, aku tak akan pernah mengutarakannya sampai
aku meyakini sang wanita merupakan wanita yang akan menjadi pendamping hidupku
alias istriku kelak. Sementara perasaan di masa-masa SMA, aku yakini perasaan
emosional, dan tak mungkin aku utarakan rasa suka dan cinta pada seseorang yang
belum tentu akan jadi pendampingku. Akupun memendam dan menahan perasaan itu.
Mungkin sekaranglah waktunya aku utarakan semuanya.
Aku mulai
mencoba mengutarakan perasaanku, “Memang sejak awal kita saling mengenal, Aku
merasa ada banyak ketidak samaan di antara kita, kita seolah sulit bersama. Aku
suka A kamu suka B, kamu ingin seperti ini aku sebaliknya. Tapi yah…mungkin
itulah kutub postof dan negative, tak akan pernah sama, tapi ditakdirkan
bersama.” Aku diam sejenak untuk mnghela nafas dalam-dalam mempersiapkan
kalimatku berikutnya, “Aku mencintaimu juga Din, aku sayang sama kamu.
Seharusnya dari dulu aku katakan ini kepadamu”
Andini :
“Jadi......”,
Aku : “Iya”.
Aku
menmberanikan menggerakan tanganku untuk meraih telapak tangan Andini dan
menggengamnya. Andinipun mengerti dan membiarkan aku menggenggam telapak
tangannya. Kemudian dia menyandarkan kepalnya di bahu kananku. Kami tampak dua
sejoli yang sedang pacaran dan kasmaran di dalam KOPAJA. “Butuh waktu cukup
lama, kita bisa salaing mengakui semuanya” ujarku. “Iya delapan tahun Ar,
delapan tahun kita membohongi dirikita sendiri”.
Andini :
“Ar.....”
Aku : “Hmmm...ya,”
Andini : “Dulu,
aku menangis karena aku menyesali diriku sendiri, mengapa harus kamu yang aku
sukai, mengapa harus kamu yang aku sayangi. Padahal aku tahu kamu tak pernah
mengenal wanita, yang kamu kenal cuma pelajaran, pelajaran dan teman-temanmu
itu, saat itu aku begitu tersiksa, mengapa sampai perpisahan terjadi kamu tak
pernah mengerti bahasa wanita yang mengharapan balasan cinta.”
Kemabli aku hanya
bisa terdiam. Ingin rasanya kumaki diriku sendiri yang tak pernah bisa memahami
bahasa cinta.
Aku : “Maafkan aku din,” hanya itu yang bisa kukatakan.
Andini : “Sekian lama, aku menyimpan semua ini,
menjaga perasaanku hanya untukmu dan menolak semua yang datang menghamiri untuk
menghormatimu. Karena cuma kamu yang aku cintai.” Andini lalu meloloskan
tangnnya dari genggamanku dan berbalik menggenggam tanganku, lalu melanjutkan
kata-katanya, “Izinkan aku pergi, untuk meraih cita-citaku Ar, restui keberangkatanku.”
Berat memang rasanya, jika harus mengijinkan
kepergian seseorang yang baru saja datang dan bertemu. Apalagi seseorang yang
selalu mengisi pikiran dan hati. Tetapi lebih berat jika harus membuatnya
kecewa jika aku tak mengatakan “Iya”. Tak tega rasanya melihatnya kecewa,
akhirnya akupun merelakan kepergiannya.
Aku :
“Kau adalah hal terindah yang pernah kulihat, entah terlihat dimataku atau
sekedar hadir dalam bayanganku, keindahanmu selalu kurasakan. Berangkatlah....,
raihlah semua yang kau impikan. Di sana kamu akan mendapati cerita baru yang
lebih baik dari semua yang pernah kau lalui. Aku akan tetap bahagia, aku akan
menungguimu.”
Andini : “Terimakasih....” , sambil mempererat
genggaman tanggannya.
Tiba-tiba, abang kondektur berteriak “Awaaaassss........”.
Brruaaakkkk. Sesaat kemudian kami tak ingat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar